Thursday, July 17, 2008

Menjadi Polisi Lalu Lintas

Pernahkah anda membayangkan seperti ini?

Anda punya seorang pembantu rumah tangga. Namun sang pembantu seringkali membuat kesalahan-kesalahan elementer, seperti mencuci yang tidak bersih, menyapu dan mengepel juga masih menyisakan kotor, memecahkan piring dan gelas, dan kesalahan lainnya. Anda juga meminta agar pagi hari dia menyiram tanaman anda, dan kalau mau keluar malam jangan melebihi jam 9, kecuali ada acara khusus. Namun lagi-lagi dia seringkali alpa menyiram tanaman dan seringkali pulang malam. Tingkahnya sangat mengecewakan, tidak profesional dengan tingkat kinerja yang sangat rendah. Seminggu dua minggu, mungkin anda masih maklum. Lewat dari itu, saya yakin anda akan stress, marah dan kemungkinan besar memecat dia. Dan perkara memecat tentu tidak sulit, paling sulit pun bisa diatasi dengan membayar pesangon. Itu untuk kasus pembantu rumah tangga.

Dengan analogi tersebut, mari kita perhatikan tugas dan pekerjaan polisi lalu lintas. Tiap hari saya selalu lewat UKI-Cawang menuju tempat kerja. Dan setiap hari saya melihat pemandangan yang sama. Polisi mengayun-ayunkan tongkatnya, memberi perintah, agar mobil dan bis (kebanyakan mobil dan bis umum) tidak mengetem untuk mengambil penumpang. Sering saya lihat mereka marah-marah kepada para sopir yang ngetem, menaikkan atau menurunkan penumpang di tempat sembarangan. Saya perhatikan, mereka melakukan hal tersebut setiap hari, memberi perintah setiap hari, dan mungkin sekali marah-marah setiap hari, untuk hal dan atau kesalahan yang sama! Sekali lagi, hal yang sama! Bisakah anda bayangkan bila anda dalam posisi mereka?

Untuk kasus pembantu, dengan kesalahan yang seringkali dia ulang, dengan mudah kita bisa memecat mereka. Cari pembantu yang lebih bagus, masalah selesai! Bagaimana dengan polisi dan para pengemudi itu? Mungkin polisi, dengan prosedur yang lumayan rumit, bisa memecat mereka dari jalan raya dengan cara mencabut SIM para pengemudi tersebut. Persoalannya, ada ribuan pengemudi dengan tingkah seperti itu. Dan itu terjadi setiap hari.

Terus terang, ngeri saya membayangkan saya dalam posisi mereka. Saya pasti stress berat, menjadi sangat pemarah, dan mungkin akan mengidap semacam sopirophobia atau angkotophobia atau biskotaphobia. Belum lagi gaji yang mereka dapat – sepanjang yang saya dengar – sangat kecil.

Berangkat dari pemahaman tersebut, meski saya kadang kesal berat sama polisi, saya mencoba merasakan bagaimana beratnya dan mengesalkannya pekerjaan mereka. Sebagian dari kita mungkin ada yang berkata sinis, “Salah sendiri mau jadi polisi.” But it’s not the point, I think. The point is, we have to appreciate what ones do for their lives, whatever it is. More over, police does their job for the goodness of our society.

Buat bapak/ibu polisi, maju terus, berbuatlah yang terbaik, niscaya kami akan menghargai anda. Untuk pejabat dan para petinggi kepolisian, perlakukanlah mereka dengan lebih manusiawi, lahir maupun batin. Dan untuk para pengguna jalan, marilah kita taati peraturan lalu lintas. Percayalah, tertib itu indah.

1 comment:

Rico Saptahadi said...

yah memang bener sich....

tapi di mata kebanyakan khalayak ramai ,polisi itu kerjaan nya cuma
duduk2 sambil nungggu mangsa nya lewat.trus terjadilah yang dinamakan pungli,kasar nya uang haram

makanya pada umum nya perut polantas itu pada buncit2.selain makan uang haram-yaaa... karjaan nya cuma duduk2 sambil nunggu mangsa lewat
stuju ga??