Monday, August 6, 2007

Antara Kristenisasi dan Islamisasi

Sekarang sudah bulan Agustus. Tak terasa dua bulan sudah saya meninggalkan Aceh, kembali ke Pulau Jawa. Meski jauh, teknologi saat ini membuat saya tetap dapat mengakses berita Aceh setiap saat. Tadi pagi, saya bukan website Serambi Indonesia, koran lokal terbesar dan paling berpengaruh di Aceh. Beritanya tentang kunjungan Wakil Gubernur Aceh ke daerah perbatasan Aceh-Sumatera Utara. Judul beritanya tidak istimewa - setidaknya menurut saya - namun ada bagian isi yang membuat saya mengernyitkan kening. Silahkan mengkses berita tersebut di sini.

Saya ingat selama saya di Aceh, banyak sekali protes sekaligus tuduhan dari banyak pihak di Aceh menyangkut adanya upaya-upaya kristenisasi yang dilakukan oleh para donor, baik langsung maupun tidak. Bantuan-bantuan yang menyerupai salib, berupa obat-obatan, buku, bahkan sekedar gambar tempel, disinyalir sebagai media dakwah untuk memurtadkan muslim di Aceh. Sampai-sampai, BRR membentuk tim khusus yang bertugas menginvestigasi upaya-upaya pemurtadan yang terjadi. Sedari awal, saya tidak begitu setuju dengan hal ini. Namun karena menurut rekan-rekan di Aceh, masyarakat Aceh sangat sensitif tentang hal ini, dan tidak mungkin kita hanya berpangku tangan, ok lah kita ikuti keinginan mereka.

Sampai saya membaca berita di Serambi hari ini. Saya terkejut dan tidak habis pikir. Bagi saya, upaya menghalalkan diri melakukan sesuatu terhadap orang lain, sembari mengharamkan orang lain melakukan hal yang sama pada diri kita, adalah tindakan yang mau menang sendiri, tidak toleran, dan tidak simpatik. Betul-betul tidak mencerminkan keadilan. Menurut saya, dengan pola pikir dan tindak seperti ini, tidak akan pernah tercipta sebuah keadamaian yang genuine dalam masyarakat kita. Dan inilah salah satu sebab mengapa agama begitu banyak menyebabkan peperangan dan menelan korban selama berabad-abad, dulu bahkan hingga hari ini.

Seharusnya mereka malu. Dan kalau itu benar menurut mereka, maka mereka tidak boleh sama sekali complaint ketika ada upaya yang sama dari orang lain kepada mereka. Dan saya masih tidak juga mengerti...

Read More......

Monday, July 9, 2007

SEBUAH NEGERI YANG PARADOKS

Entah sudah berapa lama program pengentasan kemiskinan dijalankan di negeri ini; dari mulai program PPK, P2KP, dan banyak lainnya. Semua bertujuan mulia dan sangat penting: Mengentaskan Kemiskinan. Saat ini, pemerintah bahkan berencana membangun program serupa dengan tingkat koordinasi yang lebih baik, setidaknya menurut mereka. Seluruh program pengentasan kemiskinan akan dikoordinasikan satu atap, agar lebih efektif dan efisien. Dan untuk mengejar target Millenium Development Goals 2015, program ini akan menjadi sebuah program raksasa yang menyentuh masyarakat miskin di seluruh pelosok negeri agar kelak pada tahun 2015 jumlahnya dapat dikurangi secara sangat signifikan.

Di satu sisi, program seperti ini tentu harus kita dukung, dengan tingkat harapan keberhasilan yang tinggi. Namun di sisi lain, ada pesimisme yang begitu tinggi, terlebih dengan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah di sektor lain, yang tidak bisa kita lepaskan dari isu pengentasan kemiskinan. Salah satunya adalah sektor pendidikan. Privatisasi pendidikan di seluruh tingkatan telah menimbulkan persoalan yang serius, yang akan sangat membahayakan program pengentasan kemiskinan. Ironisnya, kebijakan tersebut juga diambil oleh pemerintah yang sama. Sebuah paradoks yang ironis.

Coba bayangkan. Di satu sisi, pemerintah ingin agar rakyat miskin semakin berkurang. Dalam hal ini kita perlu menyadari bahwa ini adalah sebuah cita-cita yang tidak mudah untuk diwujudkan, meski juga tidak mustahil. Dibutuhkan ketekunan, konsistensi dan waktu yang tidak sebentar. Mungkin hitungan satu generasi bisa dikatakan cepat, bahkan sangat cepat. Kita jangan pernah bermimpi bahwa masalah kemiskinan dapat selesai hanya dalam waktu singkat, katakanlah lima sampai sepuluh tahun. Itu sebuah utopia yang berbahaya.

Dimensi kemiskinan demikian luas. Hal itu terkait dengan, selain ekonomi, juga masalah pendidikan dan sumber daya manusia, penyediaan layanan kesehatan, aksesibilitas informasi, pasar, dan lain-lain. Sehingga, upaya-upaya pengentasan kemiskinan sudah seharusnya mengintegrasikan aspek-aspek tersebut secara sistemik dengan time-frame yang jelas. Konsistensi pelaksanaan kebijakan tentu tidak bisa ditawar dalam hal ini. Di sinilah salah satu paradoks tersebut terlihat.

Ketika pemerintah mencanangkan program pengentasan kemiskinan (dapat dilihat di http://www.ict4pr.org/sections/main), pada saat yang bersamaan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) sedang dibahas dan tampaknya akan segera disahkan oleh DPR. BHP ini akan semakin mensahkan praktek-praktek pendidikan berbiaya tinggi seperti terlihat beberapa tahun belakangan ini. Sungguh, sebuah paradoks sekaligus bunuh diri yang tidak lucu. Logikanya sederhana saja, bagaimana mungkin kita bisa mengentaskan kemiskinan bila pemerintah tidak mampu atau setidaknya berupaya menyediakan pendidikan yang murah dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana masyarakat bisa berdaya membebaskan diri mereka dari kemiskinan bila mereka tidak memperoleh pendidikan yang layak, bila mereka tidak dicerdaskan?

Saya sangat khawatir, bila pola pembangunan seperti ini yang kita jalankan, maka sama saja dengan membuang garam ke laut, atau mencat langit, upaya yang sia-sia. Saya teringat ucapan Cak Nur almarhum dulu, bahwa untuk membangun negeri ini, kita harus memiliki komitmen tinggi untuk menunda kesenangan, kita harus berani berlapar-lapar dahulu untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera seperti yang dicita-citakan. Demikian pula dalam program pengentasan kemiskinan. Kita tidak mungkin melakukan short-cut atau jalan pintas dengan program-program charity atau bantuan bergulir sekalipun, tanpa penguatan kapasitas sumber daya manusia kita. Dalam hal ini, pendidikan sebagai upaya mencerdaskan masyarakat, membuat mereka memahami lingkungan dan potensinya untuk kemudian mengembangkannya, menjadi jauh lebih penting dibanding program-program lainnya.

Semoga paradoks yang tidak lucu ini segera berakhir...

Read More......

Wednesday, June 27, 2007

ROMO MANGUN & OPTIMISME

Sepulang dari Aceh, skeptisme terhadap masa depan Bangsa ini begitu memuncak. Betapa tidak, BRR yang katanya digawangi oleh putra-putri terbaik bangsa, berambisi menciptakan sebuah role model suatu pengelolaan negara yang lebih baik - setidaknya menurut saya - telah gagal. Bagaimana tidak dikatakan gagal, program-program disusun centang perenang, tanpa basis data yang jelas, begitu banyak titipan, hingga arah rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh menjadi makin tidak jelas. Beberapa mungkin menganggap saya sakit hati atau kecewa atau apa lah, terlebih di tengah begitu banyak pujian mengalir, terutama dari negara-negara donor dan lembaga internasional, tentang proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh.

Namun saya berani bertaruh. BRR dan hampir seluruh agen yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias menyimpan bom waktu yang begitu dahsyat. Okelah, urusan pembangunan rumah, jalan, tanggul, pelabuhan, bandar udara, mengalami kemajuan yang nyata. Aceh merupakan satu-satunya daerah bencana di dunia di mana seluruh korban mendapat ganti rugi rumah. Sekali lagi, semua. Namun pertanyaannya, benarkah itu yang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh untuk membangun diri dan bangsanya ke depan, membuat dirinya berdaya hingga mampu menggapai apa yang sering disebut sebagai Aceh Baru? Seberapa jauh bencana tsunami yang diikuti oleh proses rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi pelajaran dan modal berharga mereka?

Saya khawatir jawabannya, masyarakat Aceh segera lupa akan tsunami, tidak mampu mengambil pelajaran dari itu, bahkan semakin korup dan menjadi bangsa peminta-minta. Mengerikan, dan saya selalu berdoa semoga hal tersebut tidak menimpa saudara-saudaraku di Aceh sana. Semoga saya salah!

Nah, kita kembali ke judul tulisan ini. Dengan begitu mengerikannya pengalaman yang dialami di Aceh, saya sempat berpikir, there's no future for my beloved, beautiful country... O, what a tragedy! I could not find any single entry point for this country to be improved, to be healed. So, do we just give up, give in, see what time will tell? We just take care our family, make money, and see the Darwin's law to happen? Or what?

Sampai pada suatu hari, saya iseng2 membaca buku Romo Mangun dari sebuah perpustakaan di LSM di Jakarta. Judulnya "Menuju Republik Indonesia Serikat". Satu kalimat yang menggugah saya di buku itu kira2 begini: "... kalau saya ditanya apakah generasi muda Indonesia sekarang ini, yang dikenal manja, kurang memiliki rasa nasionalisme, dapat membawa perubahan bangsa ini ke arah yang lebih baik? Jawaban saya pasti bisa. Kenapa? Karena setiap perubahan dalam sebuah masyarakat selalu diawali dari kelompok-kelompok kecil yang seringkali tidak populer di masyarakat tersebut. Dan kita memiliki generasi muda yang seperti itu..." Ya, kira2 seperti itulah. Beliau mengambil contoh perjuangan Soekarno, Hatta, Sjahrir, yang katanya juga dulu seperti itu.

Lama saya termenung membaca itu. Berkecamuk pikiran di otak saya, masa iya sih; gimana caranya; sampai kapan; dan lain2. Berhari-hari saya mencoba merenungkan itu. Saya menghormati Romo Mangun, seperti saya menghormati Gus Dur dan Cak Nur, sehingga tentu dia tidak main-main. Akhirnya saya berusaha menelannya, mempercayainya, dan meyakinkan bahwa everything is possible. Saya juga teringat perkataan teman saya dulu,"Agama Kristen memerlukan waktu hingga tiga abad lebih untuk diterima sebagai kebenaran, melalui darah dan air mata, dan dia berhasil. Kita tidak boleh cengeng untuk memperjuangkan apa yang kita percayai, meski belum tentu kita menikmati hasilnya kelak."

So, Keep on Moving...

Read More......

Monday, May 14, 2007

Bukit Lawang

Awalnya iseng maen ke Medan, karena udah bosen di Banda Aceh. Setelah satu hari jalan-jalan ke Brastagi, keliling di Medan, hari Minggu, 13 Mei 2007, jalanlah kami ke Bukit Lawang. Pertimbangannya, sekalian lewat terus langsung pulang ke Banda Aceh. Dari Medan kami jalan jam 10 pagi (kesiangan sebenarnya) menuju Binjai. Setelah sempat nyasar di Binjai, ketemu juga jalan menuju Bukit Lawang.

Bukit Lawang terletak di Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat. Terletak 85 km dari Medan, Bukit Lawang dapat ditempuh dengan angkutan umum dari Binjai atau dengan kendaraan pribadi. Karena kami menggunakan kendaraan pribadi, jarak itu kami tempuh selama 2,5 jam dari Medan. Sebenarnya bisa jauh lebih cepat bila saja kondisi jalan di 23 km terakhir cukup baik. Kondisi jalan yang buruk, berdasarkan keterangan masyarakat sekitar, terutama disebabkan aktivitas truk-truk sawit dan karet yang beroperasi di sekitar kawasan tersebut. Untuk diketahui, separuh jarak menuju Bukit Lawang kita disuguhi pemandangan perkebunan karet dan kelapa sawit. Namun untuk kelapa sawit, karena umurnya yang sudah tua, banyak yang sudah tidak produktif lagi dan dibiarkan terlantar begitu saja oleh pengelolanya, PT London Sumatera, sebuah PMA dari Eropa. Kebun Sawit yang masih produktif kebanyakan dikelola oleh PTPN II Sumatera Utara. Sedangkan untuk Karet, selain PTPN II, juga banyak perkebunan-perkebunan Rakyat warisan jaman Soeharto dulu.

Secara sepintas, kita dapat melihat sebuah fenomena sosiologis yang menarik dan sebenarnya umum terjadi di enclave-enclave industri di Indonesia: banyaknya orang Jawa yang bekerja, kemudian bermukim, berkeluarga dan memiliki keturunan di sana. Sehingga di daerah Bohorok kita dapat menjumpai tiga mayoritas suku bangsa: Karo, Melayu dan Jawa. Sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji lebih jauh bagi peminat ilmu-ilmu sosial-kemasyarakatan.

Kembali ke Bukit Lawang. Sejak tahun 1973, tempat ini sudah mulai dikenal sebagai tempat rehabilitasi OrangUtan dengan bantuan beberapa filantropi dari Swiss. Merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Leuseur, hingga saat ini Bukit Lawang sudah berhasil merehabilitasi 235 OrangUtan. Bertemu OrangUtan di alam bebas - selain faktor waktu dan cuaca - juga sangat bergantung pada keberuntungan. Dan mungkin aku salah satu yang beruntung :D. Dalam waktu dua jam, aku berhasil bertemu dengan April, Sandra, Pesek + Anaknya, dan Edita juga dengan anaknya. Menurut keterangan Guide kami (namanya sengaja tidak disebutkan, atau kita panggil saja dia Kang Asep), setiap OrangUtan memiliki sifat-sifat yang khas dan unik. Edita misalkan, selalu berusaha merebut setiap tas punggung yang dilihatnya karena dulu waktu direhabilitasi dia sering sekali diberi pisang yang disimpan di tas punggung. Untung tidak ada dari kami yang membawanya hari itu...

Hari ini, Bukit Lawang mulai menggeliat lagi setelah bencana banjir bandang yang melanda daerah ini tanggal 3 November 2003. Menurut seorang Guide di sana, banjir bandang hari itu disebabkan kegiatan penggundulan hutan di hulu sungai Bohorok, di daerah Aceh Tenggara (Kuta Cane). Berbicara tentang penggundulan hutan, menurut beliau, sangat sulit kita menghentikannya. Selain backing dari (oknum) aparat yang sangat kuat, masyarakat yang miskin dan tidak cukup sadar pun menjadi salah satu kontributor besar. Bahkan tidak jarang timbul ancaman bahkan mungkin pembunuhan bagi aktivis lingkungan di sana. Beliau sempat bercerita tentang keanehan yang timbul ketika seorang aktivis Yayasan Leuseur Indonesia (YLI) bernama Bang Hasan meninggal dunia beberapa waktu yang lalu. O, what a country?!

Kang Asep sempat menawari kami untuk tracking dari Bukit Lawang menuju Kuta Cane, yang menurutnya dapat ditempuh selama 7 hari 6 malam, dengan waktu tempuh per hari kira-kira 9-10 jam. Hehehe... If only it was 1997! Sangat menyenangkan, itulah promosi Kang Asep. Kita bisa melihat keindahan TN Gn. Leuser, melihat satwa-satwa khas di sana seperti OrangUtan, Gajah, Burung Rangkong (ada 7 species yang hidup di TNGL), dll. Dan tentunya, kita bisa melihat kondisi alam yang carut-marut akibat illegal logging. Setibanya di Kuta Cane - msh menurut Kang Asep - kita bisa rafting di Sungai Alas yang terkenal dengan tingkat kesulitannya yang tinggi untuk ukuran Indonesia.

Oiya, sebelum diakhiri, Kang Asep juga cerita tentang budidaya Meranti yang mulai digalakkan di daerah Bohorok. Selain oleh masyarakat, Meranti juga mulai dibudidayakan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan di sana. Ok, selamat tinggal dan sampai jumpa lagi Kang Asep, April, Sandra, Edita dan Pesek...

Read More......

Wednesday, May 9, 2007

Kesadaran yang Terlambat

Dua tahun sudah aku di Banda Aceh. Meskipun terkesan lambat, banyak perkembangan2 signifikan yang muncul dan berkembang di masyarakat. Beberapa sempat aku prediksi, namun beberapa yang lain betul-betul mengagetkan. Kekurangan ilmu jadi sebab kenapa yang terjadi hari ini tidak aku perkirakan sebelumnya. Aku masih harus banyak belajar... Sesuatu yang benar-benar jauh di luar bayanganku sebelumnya adalah pengaruh bantuan, baik nasional maupun internasional, bagi masyarakat Aceh. Beberapa bulan belakangan frekuensi dan volume permintaan masyarakat akan bantuan, baik perorangan maupun kelompok, makin besar. Aku jadi berpikir, ternyata dalam pembentukan mental dan etos masyarakat, bantuan membawa dampak yang luar biasa buruk. Dalam skala tertentu, hal tersebut memang diperlukan. Namun tanpa sebuah assessment yang matang, terencana, terutama dengan memperhatikan aspek-aspek psiko-sosial, itu semua hanya akan menghancurkan tata nilai yang hidup dalam masyarakat. Aku kemudian juga berusaha menganalisis apa saja yang sudah dilakukan BRR. Tampaknya - dalam jangka panjang terutama - banyak sekali program BRR yang berkontribusi besar bagi terdegradasinya moral dan etos hidup masyarakat Aceh. Menyedihkan memang, dan lebih menyedihkan lagi karena aku berpikir seharusnya aku sudah bisa melihat itu sejak lama. Sebuah pelajaran yang sangat berharga, tidak hanya untuk diriku sendiri, namun terutama bagi penyelenggara negara dari negeri tercinta ini...

Read More......

Thursday, April 26, 2007

Born Before 1986

This one my friend sent me. Interesting, and you must be smile... BORN BEFORE 1986 According to today's regulators and bureaucrats, those of us who were kids in the 60s, 70s and early 80s probably shouldn't have survived, because our baby cots were covered with brightly coloured Lead-based paint which was promptly chewed and licked. We had no childproof lids on medicine bottles, or latches on doors or cabinets and it was fine to play with pans. When we rode our bikes, we wore no helmets, just flip-flops and fluorescent spokey dokeys on our wheels. As children, we would ride in cars with no seat belts or airbags and riding in the passenger seat was a treat. We drank water from the garden hose and not from a bottle and it tasted the same. We ate chips,bread and butter pudding and drank fizzy juice with sugar in it, but we were never overweight because we were always outside playing.We shared one drink with four friends, from one bottle or can, and no-one actually died from this. We would spend hours building go-carts out of scraps and then went top speed down the hill, only to find out we forgot the brakes. After running into stinging nettles a few times, we learned to solve the problem. We would leave home in the morning and could play all day, as long as we were back before it got dark. No one was able to reach us and no one minded. We did not have Playstations or X-Boxes, no video games at all. No 99 channels on TV, no videotape movies, no surround sound, no mobile phones, no personal computers, no DVDs, no Internet chatrooms. We had friends – we went outside and found them. We played elastics and rounders, and sometimes that ball really hurt. We fell out of trees, got cut, and broke bones but there were no law suits. We played knock-the-door- run-away and were actually afraid of the owners catching us. We walked to friends homes. We also, believe it or not, WALKED to school & we didn't rely on mummy or daddy to drive us to school, which was just round the corner. We made up games with sticks and tennis balls. We rode bikes in packs of 7 and wore our coats by only the hood. The idea of a parent bailing us out if we broke a law was unheard of...they actually sided with the law. This generation has produced some of the best risk-takers and problem solvers and inventors, ever. The past 50 years have been an explosion of innovation and new ideas. We had freedom, failure,success and responsibility, and we learned how to deal with it all. And you're one of them. Congratulations. Pass this on to others who have had the luck to grow as real kids, before lawyers and government regulated our lives, for our own good. For those of you who aren't old enough, thought you might like to read about us. This my friends, is surprisingly frightening. .....and it might put a smile on your face. The majority of students in universities today were born in 1986....The Uptown Girl they know is by Westlife not Billy Joel. They have never heard of Rick Astley, Bananarama, Neneh Cherry or Belinda Carlisle. For them, there has always been only one Germany and one Vietnam . AIDS has existed since they were born. CDs have existed since they were born. Michael Jackson has always been white. To them John Travolta has always been round in shape and they can't imagine how this fat guy could be a god of dance. They believe that 'Charlie's Angels' and 'Mission Impossible' are films from last year. They can never imagine life before computers. They'll never have pretended to be the 'A-Team', the 'Dukes of Hazzard' or the 'Famous Five'. They can't believe a black and white television ever existed. And they will never understand how we could leave the house without a mobile phone. Now let's check if we're getting old... You understand what was written above and you smile. You need to sleep more, usually until the afternoon, after a night out. Your friends are getting married & already married. You are always surprised to see small children playing comfortably with computers. When you see children with mobile phones, you shake your head. Having read this, you are thinking of forwarding it to some other friends because you think they will like it too... Yes, you're getting old.

Read More......

Liberalisasi Perguruan Tinggi

Isu ini dulu tahun 2000an sempat ramai didiskusikan di kampus. Teman2 sangat menentang rencana menjadikan kampus sebagai BHMN, karena mereka melihat begitu banyak dampak yang tidak menguntungkan masyarakat akan timbul. Hari ini, kita bisa melihat bagaimana gara2 kebijakan tersebut ongkos pendidikan tinggi menjadi sangat mahal. Bagaimana kita bisa menciptakan sebuah Keadilan Sosial dalam masyarakat kita kalau begitu caranya? Menyedihkan, sekaligus memuakkan. Berikut ini adalah sebuah kejutan tentang hal tersebut, sebab disampaikan oleh seorang Rektor PTN ternaman di tanah air. Selamat merenung...

Seputar Indonesia (12-13/3)

Menghadapi Liberalisasi PT Oleh: Prof Dr Sofian Effendi Rektor Universitas Gajah Mada Yogyakarta

Bentuk dan rona pendidikan tinggi di era perdagangan bebas semakin perlu kita pahami bersama karena negara-negara anggota WTO akan ditekan terus untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.

Dalam tipologi yang digunakan para ekonomi, kegiatan usaha dalam masyarakat dibagi dalam tiga sector. Sektor primer yang mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Sektor sekuder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur, dan utilities. Sektor tersier mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia(human services), dan benda simbolis (information and communication services). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi, WTO menetapkan pnedidikan adalah salah satu industri esktor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengatahuan dan orang yang tidak punya ketrampilan menjadi orang berpengatahuan dan berketrampilan.

Kontribusi sector tersier terhadap produk nasional suatu bangsa memang cenderungn meningkat seiring dengan kemajuan pembangunan bangsa tersebut. Sejak 1980-an di negara-negara maju, perdagangan jasa tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan yang besar dibandingkan dengan sector primer dan sekunder. Tiga Negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia (Ender dan Fulton, Eds, 2002, hlm 104-105). Pada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 milyar atau 126 trilyun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 % dari penerimaan sector jasa Negara tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Eksport mengungkapkan bahwa pada 1993 sektor jasa telah menyumbangkan 20% pada PDB Australia, menyerap 80% tenaga kerja dan merupakan 20% dari ekspor total Negeri Kanguru tersebut.

Sebuah survey yang diadakan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersbeut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia pada tahun 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga Negara maju tersbeut amat getol menuntut liberalisasi sector jasa pendidikan melalui WTO.

Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hal atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali ‘jasa nonkomersial atau tidak bersaig dengan penyedia jasa lainnya”.

Sebagai negara yang memiliki 210 juta penduduk yang tingkat partisipasi pendidikan tinggi hanya 14 % dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun, Indonesia ternyata menjadi incaran Negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan, karena perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah, secara umum mutu pendidikan nasional kita, mulai sekolah dasar sampai peguruan tinggi, jauh tertiggal dari standar mutu internasional. Kedua alas an tersebut sering menjadi alas an untuk “mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan tinggi ke negara-negara berkembang, intervensi pemerintah dalam sector jasa tersebut harus dihilangkan. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai melalui GATS.

Hingga saat ini, enam negara telah meminta Indonesia untuk membuka sector jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, jepang, China, Korea, dan Selandia Baru. Subsektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. China bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran China. Jelas sekali motif humanitarian yang mendorong para provider pendidikan tinggi dari enam negara tersebut untuk membangun pendidikan tinggi Indonesia. Motif for profit mungkin adalah pendorong utamanya.

Perlu kita sadari bahwa pendidikan mempunyai tiga tugas pokok, yakni mempreservasi, mentransfer, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam menstranfer nilai-nilai dan jati diri bangsa (Van Glinken, 1994). Karena itu, setiap upaya untuk menjadikan pendidikan dan pelatihan sebagai komoditas yang tata perdagangannya diatur lembaga internasional, bukan oleh otoritas suatu negara, memang perlu disikapi dengan semangat nasionalisme yang tinggi serta dengan kritis oleh masyarakat negara berkembang.

Penulis mencoba mengupas pertanyaan pokok “Bagaimana strategi Pendidikan Tinggi Indonesia menghadapi Era Pasar Bebas?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut pembahasan akan dibagi dalam empat bagian. Setelah pendahuluan, pada bagian pertama akan dibahas perbedaan makna internasional dan globalisasi. Bagian kedua akan membahas pengaruh perdagangan bebas terhadap pendidikan tinggi. Bagian ketiga membahas strategi menghadapi liberalisasi pendidikan tinggi. Lalu, akan saya tutup dengan himbauan kepada pemerintah Republik Indonesia dalam menyikapi desakan WTO kepada Negara-negara anggota untuk menawarkan bidang-bidang jasa yang akan masuk pada GATS.

Internasionalisasi dan Globalisasi Internasionalisasi dan globalisasi adalah ibarat kembar siam yang hampir sama bentuk fisiknya tetapi berbeda sifat dan wataknya. Atau dapat juga ditamsilkan sebagai orang yang memiliki kepribadian ganda. Yang pertama, kepribadian yang baik, sopan, dan santun. Yang kedua, kepribadian yang jahat, brutal, dan gragas alias tamak. Dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, telah lama, atau bahkan sejak awal kelahirannya telah berkenalan baik dengan internasionalisasi, kalau tidak mau mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah buah dari internasionalisasi ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Karena menyadari manfaat besar dan positif dari internasionalisasi, hamper tidak ada Negara yang secara sadar mau memisahkan dirinya dari arus internasionalisasi. Bahkan dalam Pembukaan UUD 1945, tercantum jelas bahwa salah satu tujuan pendirian Republik Indonesia amat dijiawai semangat internasionalisme, yairu”…ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social…”

Globalisasi, menurut stiglitz (2003), merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya. Karena itu, interdependesi antar negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Padahal, globalisasi awalnya bertujuan untuk membuka peluang bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui perdagangan global.

Globalisasi yang dimotori fundamentalisme psar, beberapa peranyaan sangat perlu memperoleh perhatian dari dunia pendidikan tinggi. Pertama, apa peran yang harus Dimainkan pendidikan tinggi ketika ekspansi globalisasi kapitalisme neoliberal telah menjadi kenyataan? Kedua, benarkah globalisasi kapitalisme yang oleh Robetson (2003) disebut sebagai globalisasi gelombang ketika ketika itu menawrkan peluang yang lebih menjanjikan bagi pendidikan tinggi Indonesia untuk mewujudkan pendidikan bermutu internasional sebagaimana yang mungkin diyakini banyak ahli ekonomi?

Logika yang mendasari ekspansi globalisasi gelombang ketiga diturunkan dari iedeologi neoliberalisme, yang di dalam filsafat politik kontemporer memiliki afinitasnya dengan ideologi libertarianisms yang direntang melampaui batasnya yang ekstrem. Seperti halnya dengan libertarianism yang membela kebebasan pasar dan menuntut peran negara yangterbatas (Kymlyca, 1999: 95), neoliberalisme percaya pada pentingnya institusi kepemilikan privat dan efek distributif dari ekspropriasi kemakmuran yang tidak terbatas oleh korporasi-korporasi transnasional, pada superioritas hukum pasar sebagai mekanisme distribusi sumber daya, kekayaan dan pendapatan yang paling efektif, dan pada keunggulan pasar bebas, sebagai mekanisme-mekanisme sangat penting untuk menjamin kemakmuran dan peningkatan kesejahteraan semua orang dan indivisu (Gelina, op.cit, 2003: 24).

Bekerja melalui regulasi yang dilakukan oleh tiga lembaga multilateral yang oleh Ricard Peet (2002) disebut sebagai The Unholy Trinity (IMF, Bank Dunia dan WTO), di bawah tekanan ekspansi globalisasi gelombang ketiga, perlahan-perlahn akan tetapi pasti, segala sesuatu yang berharga tidak dapat dipertahankan dari komodifikasi dan komersialisasi sistem ekonomi global: termasuk air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dlam pengaturan ekonomi nasional mereka, yang terjadi dalam lima tahapan perkembangan berikut (Gelinas ibid: 31). 1) Deregulasi sistem keuangan internasional Bretton Woods yang terjadi sejak 1971, dan yang telah mengubah semua aset keuangan dunia ke dalam kapitas spekulatif. (2) Deregulasi ekonomi Dunia Ketiga secara sistematis dan bertahap, yang terjadi sejak tahun 1980-an melaluui program-program penyesuaian struktural (Structural adjustment)di bawah pengawalan IMF dan Bank Dunia untuk mengintergrasikan negara-negara sedang berkembang ke dalam sistem pasar global. (3) Deregulasi stock markets yang terjadi sejak 1986 untuk mengatur deregulasi semua stocks markets di seluruh dunia. (4) Deregulasi produksi pertanian dan komersialisasi jasa yang timbul sebagai konsekuensi dari perjanjian-perjanjian internasional. (5) Proliferasi kemudahan-kemudahan pajak dan perbankan (tax dan bangking havens) sejak pertengahan 1990-an yang telah menghasilkan separuh dari seluruh aliran keuangan dunia terjadi melalui kemudahan-kemudahan bebas hambatan dari semua netuk kendala legal oleh karena kekuasaan publik mengikuti ketidakpedulian kebijakan-kebijakan publik.

Menurut pengamatan Stiglitz (2003, ch.3) globalisasi berwajah fundamentalisme pasar yang dalam manifestasinya mengambil bentuk pasar bebas dengan berbagai isntrumennya, telah ditolak masyarakat Amerika Serikat dan perumus kebijakan pada masa Pemerintahan Clinton. Namun, globalisasi seperti itulah yang justru “dipaksakan” kepada negara-negara berkembang. Korban dari kebijakan tersebut sudah berjatuhan karena industri pertanian negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur mengalami kemuduran yang amat besar karena tidak mampu bersaing dengan sektor pertanian negara-negara maju yang diproteksi pemerintahnya.

Kemajuan mustahil terjadi tanpa perubahan. Dan, mereka yang tak bisa mengubah pemikirannya tak bisa mengubah apa pun. (George Bernard Shaw, 1856-1950)

Read More......

Fenomena 001

Pagi tadi, internet di kantor berantakan. Kabarnya ada satu radio yang jebol. Ternyata, kejadian tersebut menjatuhkan semangat kerja. Aneh memang, karena sebenarnya aku masih bisa kerja tanpa, atau setidaknya masih banyak yang bisa dikerjakan tanpa, internet. Aneh memang manusia modern ini. Ataukah fenomena ini juga menimpa manusia di masa pra-modern? Sebuah kondisi yang telah dinikmati selama sekian lama menimbulkan sebuah ketergantungan yang terkadang tidak perlu bahkan kontra produktif.Kalau internet masih banyak gunanya. Tapi coba rokok? Apa manfaat dari yang namanya rokok? Jawabannya: Minus. Alih2 memberi manfaat. Rokok jelas membawa keburukan, baik bagi kesehatan jasmani maupun kesehatan keuangan. Namun mengapa aku masih juga seorang perokok? Aku jadi berpikir, seberapa seorang manusia dapat mengendalikan tubuhnya? Apa yang membuatnya mampu mengendalikan itu semua, dan apa yang dapat membuat dia kehilangan kontrol atas itu semua? Ah, pertanyaan yang sudah muncul sejak jaman Plato dulu, dan kita belum pernah bisa yakin akan jawaban yang bermunculan... Ah, tampaknya internet di kantorku sudah mulai bersahabat...

Read More......

Wednesday, April 25, 2007

Impossible Society?

Di kantin BRR, Banda Aceh, sore ini aku terlibat pembicaraan hangat dengan rekan-rekan kantor. "Rasa Percaya Diri Rakyat Aceh" menjadi temanya. Mereka tengah berpikir kegiatan apa yang bisa meningkatkan rasa percaya diri tersebut. Meski tidak terlalu hangat - karena lebih untuk mengisi waktu sambil ngopi sore - namun hal itu cukup menyita perhatianku. Menurutku, berbicara tentang rasa percaya diri, tentu harus diletakkan dalam konteks sebuah pergaulan dengan orang lain; dalam hal ini tentu antara masyarakat Aceh dengan masyarakat di tempat lain. Dan bicara tentang percaya diri, tentu berawal dari sebuah kebanggaan. Lantas aku bertanya, apa sebenarnya yang membuat masyarakat Aceh bangga, selain tentunya masa lalu mereka? Pertanyaan yang cukup sulit dicari jawabannya ternyata. Bicara tentang masyarakat Aceh kontemporer, tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini mereka tertinggal cukup jauh dari Saudara2nya, bahkan untuk ukuran Indonesia (Jawa dan Sumatera khususnya). Komoditas kebutuhan pokok, sumber daya manusia, dan banyak yang lainnya diimpor dari luar Aceh. Konflik berkepanjangan memang berkontribusi sangat besar untuk itu. Namun menurutku, sebabnya bukan hanya itu. Atau, perjalanan selama sekian puluh tahun telah berjalin berkelindan menciptakan masyarakat yang menurutku telah kehilangan etosnya, bahkan untuk hidup mereka sendiri. Menakutkan, meski banyak yang menyangkal pendapatku ini. Namun apa yang bisa anda katakan ketika sebuah masyarakat melihat bahwa yang namanya bantuan, adalah hak mereka??? Well brothers, there's long way to go...

Read More......

Tuesday, April 24, 2007

Tes Mang

Tes Mang!

Read More......