Monday, May 14, 2007

Bukit Lawang

Awalnya iseng maen ke Medan, karena udah bosen di Banda Aceh. Setelah satu hari jalan-jalan ke Brastagi, keliling di Medan, hari Minggu, 13 Mei 2007, jalanlah kami ke Bukit Lawang. Pertimbangannya, sekalian lewat terus langsung pulang ke Banda Aceh. Dari Medan kami jalan jam 10 pagi (kesiangan sebenarnya) menuju Binjai. Setelah sempat nyasar di Binjai, ketemu juga jalan menuju Bukit Lawang.

Bukit Lawang terletak di Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat. Terletak 85 km dari Medan, Bukit Lawang dapat ditempuh dengan angkutan umum dari Binjai atau dengan kendaraan pribadi. Karena kami menggunakan kendaraan pribadi, jarak itu kami tempuh selama 2,5 jam dari Medan. Sebenarnya bisa jauh lebih cepat bila saja kondisi jalan di 23 km terakhir cukup baik. Kondisi jalan yang buruk, berdasarkan keterangan masyarakat sekitar, terutama disebabkan aktivitas truk-truk sawit dan karet yang beroperasi di sekitar kawasan tersebut. Untuk diketahui, separuh jarak menuju Bukit Lawang kita disuguhi pemandangan perkebunan karet dan kelapa sawit. Namun untuk kelapa sawit, karena umurnya yang sudah tua, banyak yang sudah tidak produktif lagi dan dibiarkan terlantar begitu saja oleh pengelolanya, PT London Sumatera, sebuah PMA dari Eropa. Kebun Sawit yang masih produktif kebanyakan dikelola oleh PTPN II Sumatera Utara. Sedangkan untuk Karet, selain PTPN II, juga banyak perkebunan-perkebunan Rakyat warisan jaman Soeharto dulu.

Secara sepintas, kita dapat melihat sebuah fenomena sosiologis yang menarik dan sebenarnya umum terjadi di enclave-enclave industri di Indonesia: banyaknya orang Jawa yang bekerja, kemudian bermukim, berkeluarga dan memiliki keturunan di sana. Sehingga di daerah Bohorok kita dapat menjumpai tiga mayoritas suku bangsa: Karo, Melayu dan Jawa. Sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji lebih jauh bagi peminat ilmu-ilmu sosial-kemasyarakatan.

Kembali ke Bukit Lawang. Sejak tahun 1973, tempat ini sudah mulai dikenal sebagai tempat rehabilitasi OrangUtan dengan bantuan beberapa filantropi dari Swiss. Merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Leuseur, hingga saat ini Bukit Lawang sudah berhasil merehabilitasi 235 OrangUtan. Bertemu OrangUtan di alam bebas - selain faktor waktu dan cuaca - juga sangat bergantung pada keberuntungan. Dan mungkin aku salah satu yang beruntung :D. Dalam waktu dua jam, aku berhasil bertemu dengan April, Sandra, Pesek + Anaknya, dan Edita juga dengan anaknya. Menurut keterangan Guide kami (namanya sengaja tidak disebutkan, atau kita panggil saja dia Kang Asep), setiap OrangUtan memiliki sifat-sifat yang khas dan unik. Edita misalkan, selalu berusaha merebut setiap tas punggung yang dilihatnya karena dulu waktu direhabilitasi dia sering sekali diberi pisang yang disimpan di tas punggung. Untung tidak ada dari kami yang membawanya hari itu...

Hari ini, Bukit Lawang mulai menggeliat lagi setelah bencana banjir bandang yang melanda daerah ini tanggal 3 November 2003. Menurut seorang Guide di sana, banjir bandang hari itu disebabkan kegiatan penggundulan hutan di hulu sungai Bohorok, di daerah Aceh Tenggara (Kuta Cane). Berbicara tentang penggundulan hutan, menurut beliau, sangat sulit kita menghentikannya. Selain backing dari (oknum) aparat yang sangat kuat, masyarakat yang miskin dan tidak cukup sadar pun menjadi salah satu kontributor besar. Bahkan tidak jarang timbul ancaman bahkan mungkin pembunuhan bagi aktivis lingkungan di sana. Beliau sempat bercerita tentang keanehan yang timbul ketika seorang aktivis Yayasan Leuseur Indonesia (YLI) bernama Bang Hasan meninggal dunia beberapa waktu yang lalu. O, what a country?!

Kang Asep sempat menawari kami untuk tracking dari Bukit Lawang menuju Kuta Cane, yang menurutnya dapat ditempuh selama 7 hari 6 malam, dengan waktu tempuh per hari kira-kira 9-10 jam. Hehehe... If only it was 1997! Sangat menyenangkan, itulah promosi Kang Asep. Kita bisa melihat keindahan TN Gn. Leuser, melihat satwa-satwa khas di sana seperti OrangUtan, Gajah, Burung Rangkong (ada 7 species yang hidup di TNGL), dll. Dan tentunya, kita bisa melihat kondisi alam yang carut-marut akibat illegal logging. Setibanya di Kuta Cane - msh menurut Kang Asep - kita bisa rafting di Sungai Alas yang terkenal dengan tingkat kesulitannya yang tinggi untuk ukuran Indonesia.

Oiya, sebelum diakhiri, Kang Asep juga cerita tentang budidaya Meranti yang mulai digalakkan di daerah Bohorok. Selain oleh masyarakat, Meranti juga mulai dibudidayakan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan di sana. Ok, selamat tinggal dan sampai jumpa lagi Kang Asep, April, Sandra, Edita dan Pesek...

6 comments:

abun said...

Meni teu ngajak-ngajak si Kidis mah. Kurang banyak potonya Dik! Masa poto orangutan wungkul. Nanti lagi mah pemandangannya juga atuh, trus pasang potonya di postingan aja Dik.

Anonymous said...

Naha urang sempet mikir bencong nyak :P, eta mah taman lawang nyak.

Anonymous said...

Bukitna bencong-bencong maksud si sidik teh sugan ep..

bayangkeun, ku taman wae geus rea pisan, kumaha mun bukit uplek ku bencong....

Anonymous said...

Heureuy ah, dik...

Gartika Setiya N said...

jiwa petualangna masih aya nyak
reuseup atuh lebet ka hutan aceh
eh mendakan ladang ganja di luhur
awal tau 2008 saya udah berdomisilin di BNA, iyalah abdi ngagabung ka anjeun....nya.....

Anonymous said...

alhamdulilah aku dapat pacar anak medan, apalagi tempat tinggalnya di bukit lawang, jadi aku bisa bertamasya donk liburan ksana.. heheh walaupun ku anak palembang.. tapi di medan lebih asyk mana udaranya sejuk lagi.