Thursday, April 26, 2007

Liberalisasi Perguruan Tinggi

Isu ini dulu tahun 2000an sempat ramai didiskusikan di kampus. Teman2 sangat menentang rencana menjadikan kampus sebagai BHMN, karena mereka melihat begitu banyak dampak yang tidak menguntungkan masyarakat akan timbul. Hari ini, kita bisa melihat bagaimana gara2 kebijakan tersebut ongkos pendidikan tinggi menjadi sangat mahal. Bagaimana kita bisa menciptakan sebuah Keadilan Sosial dalam masyarakat kita kalau begitu caranya? Menyedihkan, sekaligus memuakkan. Berikut ini adalah sebuah kejutan tentang hal tersebut, sebab disampaikan oleh seorang Rektor PTN ternaman di tanah air. Selamat merenung...

Seputar Indonesia (12-13/3)

Menghadapi Liberalisasi PT Oleh: Prof Dr Sofian Effendi Rektor Universitas Gajah Mada Yogyakarta

Bentuk dan rona pendidikan tinggi di era perdagangan bebas semakin perlu kita pahami bersama karena negara-negara anggota WTO akan ditekan terus untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.

Dalam tipologi yang digunakan para ekonomi, kegiatan usaha dalam masyarakat dibagi dalam tiga sector. Sektor primer yang mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Sektor sekuder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur, dan utilities. Sektor tersier mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia(human services), dan benda simbolis (information and communication services). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi, WTO menetapkan pnedidikan adalah salah satu industri esktor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengatahuan dan orang yang tidak punya ketrampilan menjadi orang berpengatahuan dan berketrampilan.

Kontribusi sector tersier terhadap produk nasional suatu bangsa memang cenderungn meningkat seiring dengan kemajuan pembangunan bangsa tersebut. Sejak 1980-an di negara-negara maju, perdagangan jasa tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan yang besar dibandingkan dengan sector primer dan sekunder. Tiga Negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia (Ender dan Fulton, Eds, 2002, hlm 104-105). Pada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 milyar atau 126 trilyun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 % dari penerimaan sector jasa Negara tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Eksport mengungkapkan bahwa pada 1993 sektor jasa telah menyumbangkan 20% pada PDB Australia, menyerap 80% tenaga kerja dan merupakan 20% dari ekspor total Negeri Kanguru tersebut.

Sebuah survey yang diadakan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersbeut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia pada tahun 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga Negara maju tersbeut amat getol menuntut liberalisasi sector jasa pendidikan melalui WTO.

Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hal atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali ‘jasa nonkomersial atau tidak bersaig dengan penyedia jasa lainnya”.

Sebagai negara yang memiliki 210 juta penduduk yang tingkat partisipasi pendidikan tinggi hanya 14 % dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun, Indonesia ternyata menjadi incaran Negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan, karena perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah, secara umum mutu pendidikan nasional kita, mulai sekolah dasar sampai peguruan tinggi, jauh tertiggal dari standar mutu internasional. Kedua alas an tersebut sering menjadi alas an untuk “mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan tinggi ke negara-negara berkembang, intervensi pemerintah dalam sector jasa tersebut harus dihilangkan. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai melalui GATS.

Hingga saat ini, enam negara telah meminta Indonesia untuk membuka sector jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, jepang, China, Korea, dan Selandia Baru. Subsektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. China bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran China. Jelas sekali motif humanitarian yang mendorong para provider pendidikan tinggi dari enam negara tersebut untuk membangun pendidikan tinggi Indonesia. Motif for profit mungkin adalah pendorong utamanya.

Perlu kita sadari bahwa pendidikan mempunyai tiga tugas pokok, yakni mempreservasi, mentransfer, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam menstranfer nilai-nilai dan jati diri bangsa (Van Glinken, 1994). Karena itu, setiap upaya untuk menjadikan pendidikan dan pelatihan sebagai komoditas yang tata perdagangannya diatur lembaga internasional, bukan oleh otoritas suatu negara, memang perlu disikapi dengan semangat nasionalisme yang tinggi serta dengan kritis oleh masyarakat negara berkembang.

Penulis mencoba mengupas pertanyaan pokok “Bagaimana strategi Pendidikan Tinggi Indonesia menghadapi Era Pasar Bebas?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut pembahasan akan dibagi dalam empat bagian. Setelah pendahuluan, pada bagian pertama akan dibahas perbedaan makna internasional dan globalisasi. Bagian kedua akan membahas pengaruh perdagangan bebas terhadap pendidikan tinggi. Bagian ketiga membahas strategi menghadapi liberalisasi pendidikan tinggi. Lalu, akan saya tutup dengan himbauan kepada pemerintah Republik Indonesia dalam menyikapi desakan WTO kepada Negara-negara anggota untuk menawarkan bidang-bidang jasa yang akan masuk pada GATS.

Internasionalisasi dan Globalisasi Internasionalisasi dan globalisasi adalah ibarat kembar siam yang hampir sama bentuk fisiknya tetapi berbeda sifat dan wataknya. Atau dapat juga ditamsilkan sebagai orang yang memiliki kepribadian ganda. Yang pertama, kepribadian yang baik, sopan, dan santun. Yang kedua, kepribadian yang jahat, brutal, dan gragas alias tamak. Dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, telah lama, atau bahkan sejak awal kelahirannya telah berkenalan baik dengan internasionalisasi, kalau tidak mau mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah buah dari internasionalisasi ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Karena menyadari manfaat besar dan positif dari internasionalisasi, hamper tidak ada Negara yang secara sadar mau memisahkan dirinya dari arus internasionalisasi. Bahkan dalam Pembukaan UUD 1945, tercantum jelas bahwa salah satu tujuan pendirian Republik Indonesia amat dijiawai semangat internasionalisme, yairu”…ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social…”

Globalisasi, menurut stiglitz (2003), merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya. Karena itu, interdependesi antar negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Padahal, globalisasi awalnya bertujuan untuk membuka peluang bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui perdagangan global.

Globalisasi yang dimotori fundamentalisme psar, beberapa peranyaan sangat perlu memperoleh perhatian dari dunia pendidikan tinggi. Pertama, apa peran yang harus Dimainkan pendidikan tinggi ketika ekspansi globalisasi kapitalisme neoliberal telah menjadi kenyataan? Kedua, benarkah globalisasi kapitalisme yang oleh Robetson (2003) disebut sebagai globalisasi gelombang ketika ketika itu menawrkan peluang yang lebih menjanjikan bagi pendidikan tinggi Indonesia untuk mewujudkan pendidikan bermutu internasional sebagaimana yang mungkin diyakini banyak ahli ekonomi?

Logika yang mendasari ekspansi globalisasi gelombang ketiga diturunkan dari iedeologi neoliberalisme, yang di dalam filsafat politik kontemporer memiliki afinitasnya dengan ideologi libertarianisms yang direntang melampaui batasnya yang ekstrem. Seperti halnya dengan libertarianism yang membela kebebasan pasar dan menuntut peran negara yangterbatas (Kymlyca, 1999: 95), neoliberalisme percaya pada pentingnya institusi kepemilikan privat dan efek distributif dari ekspropriasi kemakmuran yang tidak terbatas oleh korporasi-korporasi transnasional, pada superioritas hukum pasar sebagai mekanisme distribusi sumber daya, kekayaan dan pendapatan yang paling efektif, dan pada keunggulan pasar bebas, sebagai mekanisme-mekanisme sangat penting untuk menjamin kemakmuran dan peningkatan kesejahteraan semua orang dan indivisu (Gelina, op.cit, 2003: 24).

Bekerja melalui regulasi yang dilakukan oleh tiga lembaga multilateral yang oleh Ricard Peet (2002) disebut sebagai The Unholy Trinity (IMF, Bank Dunia dan WTO), di bawah tekanan ekspansi globalisasi gelombang ketiga, perlahan-perlahn akan tetapi pasti, segala sesuatu yang berharga tidak dapat dipertahankan dari komodifikasi dan komersialisasi sistem ekonomi global: termasuk air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dlam pengaturan ekonomi nasional mereka, yang terjadi dalam lima tahapan perkembangan berikut (Gelinas ibid: 31). 1) Deregulasi sistem keuangan internasional Bretton Woods yang terjadi sejak 1971, dan yang telah mengubah semua aset keuangan dunia ke dalam kapitas spekulatif. (2) Deregulasi ekonomi Dunia Ketiga secara sistematis dan bertahap, yang terjadi sejak tahun 1980-an melaluui program-program penyesuaian struktural (Structural adjustment)di bawah pengawalan IMF dan Bank Dunia untuk mengintergrasikan negara-negara sedang berkembang ke dalam sistem pasar global. (3) Deregulasi stock markets yang terjadi sejak 1986 untuk mengatur deregulasi semua stocks markets di seluruh dunia. (4) Deregulasi produksi pertanian dan komersialisasi jasa yang timbul sebagai konsekuensi dari perjanjian-perjanjian internasional. (5) Proliferasi kemudahan-kemudahan pajak dan perbankan (tax dan bangking havens) sejak pertengahan 1990-an yang telah menghasilkan separuh dari seluruh aliran keuangan dunia terjadi melalui kemudahan-kemudahan bebas hambatan dari semua netuk kendala legal oleh karena kekuasaan publik mengikuti ketidakpedulian kebijakan-kebijakan publik.

Menurut pengamatan Stiglitz (2003, ch.3) globalisasi berwajah fundamentalisme pasar yang dalam manifestasinya mengambil bentuk pasar bebas dengan berbagai isntrumennya, telah ditolak masyarakat Amerika Serikat dan perumus kebijakan pada masa Pemerintahan Clinton. Namun, globalisasi seperti itulah yang justru “dipaksakan” kepada negara-negara berkembang. Korban dari kebijakan tersebut sudah berjatuhan karena industri pertanian negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur mengalami kemuduran yang amat besar karena tidak mampu bersaing dengan sektor pertanian negara-negara maju yang diproteksi pemerintahnya.

Kemajuan mustahil terjadi tanpa perubahan. Dan, mereka yang tak bisa mengubah pemikirannya tak bisa mengubah apa pun. (George Bernard Shaw, 1856-1950)

2 comments:

abun said...

Yap, point nya Prof. Sofian saya bisa tangkep. Kalo point nya kamu mana Dik ?

Kalau liberalisasinya bisa mencambuk orang indonesia buat cepat-cepat maju gimana?
Dan kalau memang untuk maju ngga bisa murah gimana tuh Dik?
Intinya kan orang-(Indonesia)nya maju, atau bukan itu ?
Berikan pencerahan please... hohoho

Anonymous said...

Hade postinganna mah...
Ngan ulah disaparagrafkeun kitu atuh dik...
Posting alus ge, ari macana lieurrrrr mah... jadi teu enjoy yeuh.