Monday, July 9, 2007

SEBUAH NEGERI YANG PARADOKS

Entah sudah berapa lama program pengentasan kemiskinan dijalankan di negeri ini; dari mulai program PPK, P2KP, dan banyak lainnya. Semua bertujuan mulia dan sangat penting: Mengentaskan Kemiskinan. Saat ini, pemerintah bahkan berencana membangun program serupa dengan tingkat koordinasi yang lebih baik, setidaknya menurut mereka. Seluruh program pengentasan kemiskinan akan dikoordinasikan satu atap, agar lebih efektif dan efisien. Dan untuk mengejar target Millenium Development Goals 2015, program ini akan menjadi sebuah program raksasa yang menyentuh masyarakat miskin di seluruh pelosok negeri agar kelak pada tahun 2015 jumlahnya dapat dikurangi secara sangat signifikan.

Di satu sisi, program seperti ini tentu harus kita dukung, dengan tingkat harapan keberhasilan yang tinggi. Namun di sisi lain, ada pesimisme yang begitu tinggi, terlebih dengan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah di sektor lain, yang tidak bisa kita lepaskan dari isu pengentasan kemiskinan. Salah satunya adalah sektor pendidikan. Privatisasi pendidikan di seluruh tingkatan telah menimbulkan persoalan yang serius, yang akan sangat membahayakan program pengentasan kemiskinan. Ironisnya, kebijakan tersebut juga diambil oleh pemerintah yang sama. Sebuah paradoks yang ironis.

Coba bayangkan. Di satu sisi, pemerintah ingin agar rakyat miskin semakin berkurang. Dalam hal ini kita perlu menyadari bahwa ini adalah sebuah cita-cita yang tidak mudah untuk diwujudkan, meski juga tidak mustahil. Dibutuhkan ketekunan, konsistensi dan waktu yang tidak sebentar. Mungkin hitungan satu generasi bisa dikatakan cepat, bahkan sangat cepat. Kita jangan pernah bermimpi bahwa masalah kemiskinan dapat selesai hanya dalam waktu singkat, katakanlah lima sampai sepuluh tahun. Itu sebuah utopia yang berbahaya.

Dimensi kemiskinan demikian luas. Hal itu terkait dengan, selain ekonomi, juga masalah pendidikan dan sumber daya manusia, penyediaan layanan kesehatan, aksesibilitas informasi, pasar, dan lain-lain. Sehingga, upaya-upaya pengentasan kemiskinan sudah seharusnya mengintegrasikan aspek-aspek tersebut secara sistemik dengan time-frame yang jelas. Konsistensi pelaksanaan kebijakan tentu tidak bisa ditawar dalam hal ini. Di sinilah salah satu paradoks tersebut terlihat.

Ketika pemerintah mencanangkan program pengentasan kemiskinan (dapat dilihat di http://www.ict4pr.org/sections/main), pada saat yang bersamaan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) sedang dibahas dan tampaknya akan segera disahkan oleh DPR. BHP ini akan semakin mensahkan praktek-praktek pendidikan berbiaya tinggi seperti terlihat beberapa tahun belakangan ini. Sungguh, sebuah paradoks sekaligus bunuh diri yang tidak lucu. Logikanya sederhana saja, bagaimana mungkin kita bisa mengentaskan kemiskinan bila pemerintah tidak mampu atau setidaknya berupaya menyediakan pendidikan yang murah dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana masyarakat bisa berdaya membebaskan diri mereka dari kemiskinan bila mereka tidak memperoleh pendidikan yang layak, bila mereka tidak dicerdaskan?

Saya sangat khawatir, bila pola pembangunan seperti ini yang kita jalankan, maka sama saja dengan membuang garam ke laut, atau mencat langit, upaya yang sia-sia. Saya teringat ucapan Cak Nur almarhum dulu, bahwa untuk membangun negeri ini, kita harus memiliki komitmen tinggi untuk menunda kesenangan, kita harus berani berlapar-lapar dahulu untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera seperti yang dicita-citakan. Demikian pula dalam program pengentasan kemiskinan. Kita tidak mungkin melakukan short-cut atau jalan pintas dengan program-program charity atau bantuan bergulir sekalipun, tanpa penguatan kapasitas sumber daya manusia kita. Dalam hal ini, pendidikan sebagai upaya mencerdaskan masyarakat, membuat mereka memahami lingkungan dan potensinya untuk kemudian mengembangkannya, menjadi jauh lebih penting dibanding program-program lainnya.

Semoga paradoks yang tidak lucu ini segera berakhir...

4 comments:

Boy said...

Pertama, kita hanya fokus pada program yang sifatnya pengguguran kewajiban, seakan2 untuk mencari tameng bahwa, kita sudah berupaya mengatasi masalah itu. Tanpa result oriented, tanpa crosscheck apakah program ybs. sudah menyentuh substansi dari masalah itu sendiri. Dengan kata lain, betul, masih terlalu parsial.

Ke-dua, transfer value dari think-tank bangsa ini tidak berjalan dengan mulus untuk diterjemahkan ke local-program masing-masing layer yang berwenang. Sehingga kalo di lihat, di dua sisi paling ekstrim, di puncak dan di dasar, seakan-akan value yang diusung tidak selaras.

Ke-tiga, masalah2 yang dihadapi bangsa ini nyaris di setiap elemen kita sepakati bukan PR satu dekadean, tapi butuh kesinambungan persis seperti program REPELITA yang dulu diterapkan sambung menyambung, tahap demi tahap. Di lain pihak, turbulensi politik tidak mengakomodir hal itu. Sehingga kebijakan yang diciptakan mati muda sebelum sampai ke akar permasalahan.

Ke-empat bener kata ente mengutip pembicaraan ente dengan Cak Nur, bahwa sudah saatnya difikirkan satu policy yang mengatur kalangan non-parpol untuk ikut berpartisipasi dalam birokrasi lewat jalur-jalur yang lebih independen. Karir politik yang bebas lepas dari proses kaderisasi dan pencalonan yang diajukan parpol.

Setidaknya.. hal-hal ini masih menyisakan harapan untuk bersama-sama kita hidupkan kembali, wallahu'alam.

Anonymous said...

Betul sekali Sidik kalo memang negeri kita sebuah negeri yang paradoks, apalagi di tanah sunda.
Ada paradoks kacang panjang, paradoks leunca, dan kalo mau yang lebih kumplit ada paradoks atah lengkap dengan engkol dan surawung nya

Boy said...

Nya si aep mah teu nyimak dik... matak dengekeun heula sing bentes, eta ceuli atawa paradoks ep..?
eh..
Paradoks teh lain kurupuk kulit tea?

Anonymous said...

snkjh sums flexible thornton djokus reviewers biosciences charles martinus language didactics
lolikneri havaqatsu