Wednesday, June 27, 2007

ROMO MANGUN & OPTIMISME

Sepulang dari Aceh, skeptisme terhadap masa depan Bangsa ini begitu memuncak. Betapa tidak, BRR yang katanya digawangi oleh putra-putri terbaik bangsa, berambisi menciptakan sebuah role model suatu pengelolaan negara yang lebih baik - setidaknya menurut saya - telah gagal. Bagaimana tidak dikatakan gagal, program-program disusun centang perenang, tanpa basis data yang jelas, begitu banyak titipan, hingga arah rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh menjadi makin tidak jelas. Beberapa mungkin menganggap saya sakit hati atau kecewa atau apa lah, terlebih di tengah begitu banyak pujian mengalir, terutama dari negara-negara donor dan lembaga internasional, tentang proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh.

Namun saya berani bertaruh. BRR dan hampir seluruh agen yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias menyimpan bom waktu yang begitu dahsyat. Okelah, urusan pembangunan rumah, jalan, tanggul, pelabuhan, bandar udara, mengalami kemajuan yang nyata. Aceh merupakan satu-satunya daerah bencana di dunia di mana seluruh korban mendapat ganti rugi rumah. Sekali lagi, semua. Namun pertanyaannya, benarkah itu yang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh untuk membangun diri dan bangsanya ke depan, membuat dirinya berdaya hingga mampu menggapai apa yang sering disebut sebagai Aceh Baru? Seberapa jauh bencana tsunami yang diikuti oleh proses rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi pelajaran dan modal berharga mereka?

Saya khawatir jawabannya, masyarakat Aceh segera lupa akan tsunami, tidak mampu mengambil pelajaran dari itu, bahkan semakin korup dan menjadi bangsa peminta-minta. Mengerikan, dan saya selalu berdoa semoga hal tersebut tidak menimpa saudara-saudaraku di Aceh sana. Semoga saya salah!

Nah, kita kembali ke judul tulisan ini. Dengan begitu mengerikannya pengalaman yang dialami di Aceh, saya sempat berpikir, there's no future for my beloved, beautiful country... O, what a tragedy! I could not find any single entry point for this country to be improved, to be healed. So, do we just give up, give in, see what time will tell? We just take care our family, make money, and see the Darwin's law to happen? Or what?

Sampai pada suatu hari, saya iseng2 membaca buku Romo Mangun dari sebuah perpustakaan di LSM di Jakarta. Judulnya "Menuju Republik Indonesia Serikat". Satu kalimat yang menggugah saya di buku itu kira2 begini: "... kalau saya ditanya apakah generasi muda Indonesia sekarang ini, yang dikenal manja, kurang memiliki rasa nasionalisme, dapat membawa perubahan bangsa ini ke arah yang lebih baik? Jawaban saya pasti bisa. Kenapa? Karena setiap perubahan dalam sebuah masyarakat selalu diawali dari kelompok-kelompok kecil yang seringkali tidak populer di masyarakat tersebut. Dan kita memiliki generasi muda yang seperti itu..." Ya, kira2 seperti itulah. Beliau mengambil contoh perjuangan Soekarno, Hatta, Sjahrir, yang katanya juga dulu seperti itu.

Lama saya termenung membaca itu. Berkecamuk pikiran di otak saya, masa iya sih; gimana caranya; sampai kapan; dan lain2. Berhari-hari saya mencoba merenungkan itu. Saya menghormati Romo Mangun, seperti saya menghormati Gus Dur dan Cak Nur, sehingga tentu dia tidak main-main. Akhirnya saya berusaha menelannya, mempercayainya, dan meyakinkan bahwa everything is possible. Saya juga teringat perkataan teman saya dulu,"Agama Kristen memerlukan waktu hingga tiga abad lebih untuk diterima sebagai kebenaran, melalui darah dan air mata, dan dia berhasil. Kita tidak boleh cengeng untuk memperjuangkan apa yang kita percayai, meski belum tentu kita menikmati hasilnya kelak."

So, Keep on Moving...

Read More......