Thursday, April 26, 2007

Born Before 1986

This one my friend sent me. Interesting, and you must be smile... BORN BEFORE 1986 According to today's regulators and bureaucrats, those of us who were kids in the 60s, 70s and early 80s probably shouldn't have survived, because our baby cots were covered with brightly coloured Lead-based paint which was promptly chewed and licked. We had no childproof lids on medicine bottles, or latches on doors or cabinets and it was fine to play with pans. When we rode our bikes, we wore no helmets, just flip-flops and fluorescent spokey dokeys on our wheels. As children, we would ride in cars with no seat belts or airbags and riding in the passenger seat was a treat. We drank water from the garden hose and not from a bottle and it tasted the same. We ate chips,bread and butter pudding and drank fizzy juice with sugar in it, but we were never overweight because we were always outside playing.We shared one drink with four friends, from one bottle or can, and no-one actually died from this. We would spend hours building go-carts out of scraps and then went top speed down the hill, only to find out we forgot the brakes. After running into stinging nettles a few times, we learned to solve the problem. We would leave home in the morning and could play all day, as long as we were back before it got dark. No one was able to reach us and no one minded. We did not have Playstations or X-Boxes, no video games at all. No 99 channels on TV, no videotape movies, no surround sound, no mobile phones, no personal computers, no DVDs, no Internet chatrooms. We had friends – we went outside and found them. We played elastics and rounders, and sometimes that ball really hurt. We fell out of trees, got cut, and broke bones but there were no law suits. We played knock-the-door- run-away and were actually afraid of the owners catching us. We walked to friends homes. We also, believe it or not, WALKED to school & we didn't rely on mummy or daddy to drive us to school, which was just round the corner. We made up games with sticks and tennis balls. We rode bikes in packs of 7 and wore our coats by only the hood. The idea of a parent bailing us out if we broke a law was unheard of...they actually sided with the law. This generation has produced some of the best risk-takers and problem solvers and inventors, ever. The past 50 years have been an explosion of innovation and new ideas. We had freedom, failure,success and responsibility, and we learned how to deal with it all. And you're one of them. Congratulations. Pass this on to others who have had the luck to grow as real kids, before lawyers and government regulated our lives, for our own good. For those of you who aren't old enough, thought you might like to read about us. This my friends, is surprisingly frightening. .....and it might put a smile on your face. The majority of students in universities today were born in 1986....The Uptown Girl they know is by Westlife not Billy Joel. They have never heard of Rick Astley, Bananarama, Neneh Cherry or Belinda Carlisle. For them, there has always been only one Germany and one Vietnam . AIDS has existed since they were born. CDs have existed since they were born. Michael Jackson has always been white. To them John Travolta has always been round in shape and they can't imagine how this fat guy could be a god of dance. They believe that 'Charlie's Angels' and 'Mission Impossible' are films from last year. They can never imagine life before computers. They'll never have pretended to be the 'A-Team', the 'Dukes of Hazzard' or the 'Famous Five'. They can't believe a black and white television ever existed. And they will never understand how we could leave the house without a mobile phone. Now let's check if we're getting old... You understand what was written above and you smile. You need to sleep more, usually until the afternoon, after a night out. Your friends are getting married & already married. You are always surprised to see small children playing comfortably with computers. When you see children with mobile phones, you shake your head. Having read this, you are thinking of forwarding it to some other friends because you think they will like it too... Yes, you're getting old.

Read More......

Liberalisasi Perguruan Tinggi

Isu ini dulu tahun 2000an sempat ramai didiskusikan di kampus. Teman2 sangat menentang rencana menjadikan kampus sebagai BHMN, karena mereka melihat begitu banyak dampak yang tidak menguntungkan masyarakat akan timbul. Hari ini, kita bisa melihat bagaimana gara2 kebijakan tersebut ongkos pendidikan tinggi menjadi sangat mahal. Bagaimana kita bisa menciptakan sebuah Keadilan Sosial dalam masyarakat kita kalau begitu caranya? Menyedihkan, sekaligus memuakkan. Berikut ini adalah sebuah kejutan tentang hal tersebut, sebab disampaikan oleh seorang Rektor PTN ternaman di tanah air. Selamat merenung...

Seputar Indonesia (12-13/3)

Menghadapi Liberalisasi PT Oleh: Prof Dr Sofian Effendi Rektor Universitas Gajah Mada Yogyakarta

Bentuk dan rona pendidikan tinggi di era perdagangan bebas semakin perlu kita pahami bersama karena negara-negara anggota WTO akan ditekan terus untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.

Dalam tipologi yang digunakan para ekonomi, kegiatan usaha dalam masyarakat dibagi dalam tiga sector. Sektor primer yang mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Sektor sekuder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur, dan utilities. Sektor tersier mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia(human services), dan benda simbolis (information and communication services). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi, WTO menetapkan pnedidikan adalah salah satu industri esktor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengatahuan dan orang yang tidak punya ketrampilan menjadi orang berpengatahuan dan berketrampilan.

Kontribusi sector tersier terhadap produk nasional suatu bangsa memang cenderungn meningkat seiring dengan kemajuan pembangunan bangsa tersebut. Sejak 1980-an di negara-negara maju, perdagangan jasa tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan yang besar dibandingkan dengan sector primer dan sekunder. Tiga Negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia (Ender dan Fulton, Eds, 2002, hlm 104-105). Pada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 milyar atau 126 trilyun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 % dari penerimaan sector jasa Negara tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Eksport mengungkapkan bahwa pada 1993 sektor jasa telah menyumbangkan 20% pada PDB Australia, menyerap 80% tenaga kerja dan merupakan 20% dari ekspor total Negeri Kanguru tersebut.

Sebuah survey yang diadakan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersbeut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia pada tahun 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga Negara maju tersbeut amat getol menuntut liberalisasi sector jasa pendidikan melalui WTO.

Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hal atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali ‘jasa nonkomersial atau tidak bersaig dengan penyedia jasa lainnya”.

Sebagai negara yang memiliki 210 juta penduduk yang tingkat partisipasi pendidikan tinggi hanya 14 % dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun, Indonesia ternyata menjadi incaran Negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan, karena perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah, secara umum mutu pendidikan nasional kita, mulai sekolah dasar sampai peguruan tinggi, jauh tertiggal dari standar mutu internasional. Kedua alas an tersebut sering menjadi alas an untuk “mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan tinggi ke negara-negara berkembang, intervensi pemerintah dalam sector jasa tersebut harus dihilangkan. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai melalui GATS.

Hingga saat ini, enam negara telah meminta Indonesia untuk membuka sector jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, jepang, China, Korea, dan Selandia Baru. Subsektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. China bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran China. Jelas sekali motif humanitarian yang mendorong para provider pendidikan tinggi dari enam negara tersebut untuk membangun pendidikan tinggi Indonesia. Motif for profit mungkin adalah pendorong utamanya.

Perlu kita sadari bahwa pendidikan mempunyai tiga tugas pokok, yakni mempreservasi, mentransfer, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam menstranfer nilai-nilai dan jati diri bangsa (Van Glinken, 1994). Karena itu, setiap upaya untuk menjadikan pendidikan dan pelatihan sebagai komoditas yang tata perdagangannya diatur lembaga internasional, bukan oleh otoritas suatu negara, memang perlu disikapi dengan semangat nasionalisme yang tinggi serta dengan kritis oleh masyarakat negara berkembang.

Penulis mencoba mengupas pertanyaan pokok “Bagaimana strategi Pendidikan Tinggi Indonesia menghadapi Era Pasar Bebas?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut pembahasan akan dibagi dalam empat bagian. Setelah pendahuluan, pada bagian pertama akan dibahas perbedaan makna internasional dan globalisasi. Bagian kedua akan membahas pengaruh perdagangan bebas terhadap pendidikan tinggi. Bagian ketiga membahas strategi menghadapi liberalisasi pendidikan tinggi. Lalu, akan saya tutup dengan himbauan kepada pemerintah Republik Indonesia dalam menyikapi desakan WTO kepada Negara-negara anggota untuk menawarkan bidang-bidang jasa yang akan masuk pada GATS.

Internasionalisasi dan Globalisasi Internasionalisasi dan globalisasi adalah ibarat kembar siam yang hampir sama bentuk fisiknya tetapi berbeda sifat dan wataknya. Atau dapat juga ditamsilkan sebagai orang yang memiliki kepribadian ganda. Yang pertama, kepribadian yang baik, sopan, dan santun. Yang kedua, kepribadian yang jahat, brutal, dan gragas alias tamak. Dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, telah lama, atau bahkan sejak awal kelahirannya telah berkenalan baik dengan internasionalisasi, kalau tidak mau mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah buah dari internasionalisasi ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Karena menyadari manfaat besar dan positif dari internasionalisasi, hamper tidak ada Negara yang secara sadar mau memisahkan dirinya dari arus internasionalisasi. Bahkan dalam Pembukaan UUD 1945, tercantum jelas bahwa salah satu tujuan pendirian Republik Indonesia amat dijiawai semangat internasionalisme, yairu”…ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social…”

Globalisasi, menurut stiglitz (2003), merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya. Karena itu, interdependesi antar negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Padahal, globalisasi awalnya bertujuan untuk membuka peluang bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui perdagangan global.

Globalisasi yang dimotori fundamentalisme psar, beberapa peranyaan sangat perlu memperoleh perhatian dari dunia pendidikan tinggi. Pertama, apa peran yang harus Dimainkan pendidikan tinggi ketika ekspansi globalisasi kapitalisme neoliberal telah menjadi kenyataan? Kedua, benarkah globalisasi kapitalisme yang oleh Robetson (2003) disebut sebagai globalisasi gelombang ketika ketika itu menawrkan peluang yang lebih menjanjikan bagi pendidikan tinggi Indonesia untuk mewujudkan pendidikan bermutu internasional sebagaimana yang mungkin diyakini banyak ahli ekonomi?

Logika yang mendasari ekspansi globalisasi gelombang ketiga diturunkan dari iedeologi neoliberalisme, yang di dalam filsafat politik kontemporer memiliki afinitasnya dengan ideologi libertarianisms yang direntang melampaui batasnya yang ekstrem. Seperti halnya dengan libertarianism yang membela kebebasan pasar dan menuntut peran negara yangterbatas (Kymlyca, 1999: 95), neoliberalisme percaya pada pentingnya institusi kepemilikan privat dan efek distributif dari ekspropriasi kemakmuran yang tidak terbatas oleh korporasi-korporasi transnasional, pada superioritas hukum pasar sebagai mekanisme distribusi sumber daya, kekayaan dan pendapatan yang paling efektif, dan pada keunggulan pasar bebas, sebagai mekanisme-mekanisme sangat penting untuk menjamin kemakmuran dan peningkatan kesejahteraan semua orang dan indivisu (Gelina, op.cit, 2003: 24).

Bekerja melalui regulasi yang dilakukan oleh tiga lembaga multilateral yang oleh Ricard Peet (2002) disebut sebagai The Unholy Trinity (IMF, Bank Dunia dan WTO), di bawah tekanan ekspansi globalisasi gelombang ketiga, perlahan-perlahn akan tetapi pasti, segala sesuatu yang berharga tidak dapat dipertahankan dari komodifikasi dan komersialisasi sistem ekonomi global: termasuk air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dlam pengaturan ekonomi nasional mereka, yang terjadi dalam lima tahapan perkembangan berikut (Gelinas ibid: 31). 1) Deregulasi sistem keuangan internasional Bretton Woods yang terjadi sejak 1971, dan yang telah mengubah semua aset keuangan dunia ke dalam kapitas spekulatif. (2) Deregulasi ekonomi Dunia Ketiga secara sistematis dan bertahap, yang terjadi sejak tahun 1980-an melaluui program-program penyesuaian struktural (Structural adjustment)di bawah pengawalan IMF dan Bank Dunia untuk mengintergrasikan negara-negara sedang berkembang ke dalam sistem pasar global. (3) Deregulasi stock markets yang terjadi sejak 1986 untuk mengatur deregulasi semua stocks markets di seluruh dunia. (4) Deregulasi produksi pertanian dan komersialisasi jasa yang timbul sebagai konsekuensi dari perjanjian-perjanjian internasional. (5) Proliferasi kemudahan-kemudahan pajak dan perbankan (tax dan bangking havens) sejak pertengahan 1990-an yang telah menghasilkan separuh dari seluruh aliran keuangan dunia terjadi melalui kemudahan-kemudahan bebas hambatan dari semua netuk kendala legal oleh karena kekuasaan publik mengikuti ketidakpedulian kebijakan-kebijakan publik.

Menurut pengamatan Stiglitz (2003, ch.3) globalisasi berwajah fundamentalisme pasar yang dalam manifestasinya mengambil bentuk pasar bebas dengan berbagai isntrumennya, telah ditolak masyarakat Amerika Serikat dan perumus kebijakan pada masa Pemerintahan Clinton. Namun, globalisasi seperti itulah yang justru “dipaksakan” kepada negara-negara berkembang. Korban dari kebijakan tersebut sudah berjatuhan karena industri pertanian negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur mengalami kemuduran yang amat besar karena tidak mampu bersaing dengan sektor pertanian negara-negara maju yang diproteksi pemerintahnya.

Kemajuan mustahil terjadi tanpa perubahan. Dan, mereka yang tak bisa mengubah pemikirannya tak bisa mengubah apa pun. (George Bernard Shaw, 1856-1950)

Read More......

Fenomena 001

Pagi tadi, internet di kantor berantakan. Kabarnya ada satu radio yang jebol. Ternyata, kejadian tersebut menjatuhkan semangat kerja. Aneh memang, karena sebenarnya aku masih bisa kerja tanpa, atau setidaknya masih banyak yang bisa dikerjakan tanpa, internet. Aneh memang manusia modern ini. Ataukah fenomena ini juga menimpa manusia di masa pra-modern? Sebuah kondisi yang telah dinikmati selama sekian lama menimbulkan sebuah ketergantungan yang terkadang tidak perlu bahkan kontra produktif.Kalau internet masih banyak gunanya. Tapi coba rokok? Apa manfaat dari yang namanya rokok? Jawabannya: Minus. Alih2 memberi manfaat. Rokok jelas membawa keburukan, baik bagi kesehatan jasmani maupun kesehatan keuangan. Namun mengapa aku masih juga seorang perokok? Aku jadi berpikir, seberapa seorang manusia dapat mengendalikan tubuhnya? Apa yang membuatnya mampu mengendalikan itu semua, dan apa yang dapat membuat dia kehilangan kontrol atas itu semua? Ah, pertanyaan yang sudah muncul sejak jaman Plato dulu, dan kita belum pernah bisa yakin akan jawaban yang bermunculan... Ah, tampaknya internet di kantorku sudah mulai bersahabat...

Read More......

Wednesday, April 25, 2007

Impossible Society?

Di kantin BRR, Banda Aceh, sore ini aku terlibat pembicaraan hangat dengan rekan-rekan kantor. "Rasa Percaya Diri Rakyat Aceh" menjadi temanya. Mereka tengah berpikir kegiatan apa yang bisa meningkatkan rasa percaya diri tersebut. Meski tidak terlalu hangat - karena lebih untuk mengisi waktu sambil ngopi sore - namun hal itu cukup menyita perhatianku. Menurutku, berbicara tentang rasa percaya diri, tentu harus diletakkan dalam konteks sebuah pergaulan dengan orang lain; dalam hal ini tentu antara masyarakat Aceh dengan masyarakat di tempat lain. Dan bicara tentang percaya diri, tentu berawal dari sebuah kebanggaan. Lantas aku bertanya, apa sebenarnya yang membuat masyarakat Aceh bangga, selain tentunya masa lalu mereka? Pertanyaan yang cukup sulit dicari jawabannya ternyata. Bicara tentang masyarakat Aceh kontemporer, tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini mereka tertinggal cukup jauh dari Saudara2nya, bahkan untuk ukuran Indonesia (Jawa dan Sumatera khususnya). Komoditas kebutuhan pokok, sumber daya manusia, dan banyak yang lainnya diimpor dari luar Aceh. Konflik berkepanjangan memang berkontribusi sangat besar untuk itu. Namun menurutku, sebabnya bukan hanya itu. Atau, perjalanan selama sekian puluh tahun telah berjalin berkelindan menciptakan masyarakat yang menurutku telah kehilangan etosnya, bahkan untuk hidup mereka sendiri. Menakutkan, meski banyak yang menyangkal pendapatku ini. Namun apa yang bisa anda katakan ketika sebuah masyarakat melihat bahwa yang namanya bantuan, adalah hak mereka??? Well brothers, there's long way to go...

Read More......

Tuesday, April 24, 2007

Tes Mang

Tes Mang!

Read More......